Opini
Beranda » Berita » Festival Budaya To Berru: Merajut Tradisi, Merawat Ingatan

Festival Budaya To Berru: Merajut Tradisi, Merawat Ingatan

 

OPINI

Oleh: WAHYUDDIN SUYUTI
Mantan Kepala Bidang Budaya Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Barru

Tepat pada April 2012, Festival Budaya To Berru (FBTB) pertama kali digelar di Alun-Alun Kota Barru. Saya saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang Budaya pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Barru. Bersama tim kecil yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Andi Tenri Seno Pieter (saat ini Purna Bhakti) dan Sekretaris Dinas—yang saat itu dijabat oleh A. Syarifuddin, S.Ip., dan kini menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Kabupaten Barru bersama staf lainnya —kami mulai menyusun gagasan, merancang konsep, dan menyusun agenda yang bertumpu pada akar kultural masyarakat Barru.

 

Perempuan ODGJ Tanpa Busana Dievakuasi Dinsos Barru dari Alun-Alun

Kami sadar tak mungkin bekerja sendiri. Maka dibentuklah panitia tingkat kabupaten yang melibatkan berbagai pihak—tokoh adat, budayawan, seniman, komunitas pemuda, pengurus sanggar, organisasi perempuan, perangkat desa, hingga unsur sekolah. Semua menyatukan niat, tenaga, dan pikiran demi satu misi: membangkitkan kembali kebanggaan akan warisan budaya To Berru

Bupati Barru saat itu, H.A.Idris Syukur sangat merespons kegiatan ini. Beliau mendorong penuh agar festival tersebut menjadi ruang ekspresi budaya lokal dan bagian dari agenda tahunan daerah. Respons beliau memberi legitimasi dan semangat besar bagi seluruh panitia dalam menyukseskan edisi pertama FBTB

 

Perlu juga dicatat bahwa Wakil Bupati Barru saat ini, Abustan A. Bintang, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan, pernah menjadi Ketua Umum Panitia Pelaksana Festival Budaya To Berru saat program dan kegiatan ini dialihkan dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga ke Dinas Pendidikan. Peralihan ini menjadi momentum penting yang menegaskan bahwa urusan kebudayaan adalah tanggung jawab lintas sektor.

 

Muslimah Cinta Islam Barru Angkat Kisah Kae Asakura dalam Kajian Islam

FBTB I tidak lahir dari kemewahan. Ia tumbuh dari kerinduan. Karnaval budaya, pertunjukan seni tradisional, permainan rakyat, hingga pasar kuliner lokal menjadi ruang pertemuan antargenerasi. Gubernur Sulawesi Selatan saat itu, Syahrul Yasin Limpo, bahkan turut membuka festival secara langsung dan menyebutnya sebagai bentuk pengabdian nyata terhadap kedaulatan budaya lokal.

Sejak itu, FBTB terus berkembang dan memberi warna tersendiri. Setiap tahun, festival ini menghadirkan tema dan inovasi baru, namun tetap berpijak pada nilai-nilai adat dan budaya Bugis. Kegiatan tidak terbatas pada hiburan, tapi juga mencakup edukasi, kolaborasi komunitas, pelibatan pelajar, dan pemberdayaan ekonomi kreatif berbasis tradisi.

FBTB masuk dalam kalender budaya Provinsi Sulawesi Selatan dan menjadi referensi bagi daerah lain dalam merancang festival kebudayaan berbasis kearifan lokal. Sekolah, sanggar seni, komunitas adat, dan pelaku UMKM ikut terlibat aktif dalam ekosistem FBTB. Ia menjadi medium pewarisan nilai, ruang dialog antar generasi, dan panggung inklusif untuk memperkuat identitas bersama.

Kini, FBTB memasuki edisi ke-14. Tahun ini, festival akan digelar di Palanro, Kecamatan Mallusetasi—tanah leluhur Arung Nepo atau Arung PatappuloE.

 

Muslimah Cinta Islam (MCI) Jadi Wadah Remaja Mendalami Islam dan Memperkuat Ukhuwah

Sebuah tari kolosal yang melibatkan 150 penari akan menjadi puncak festival, menarasikan jejak tokoh bersejarah itu melalui gerak, irama, dan suasana batin masyarakat Bugis.

Pementasan tari kolosal ini memiliki makna yang dalam dan relevan. Arung PatappuloE adalah tokoh sejarah yang merepresentasikan nilai-nilai luhur seperti keberanian, kebijaksanaan, dan kearifan dalam memimpin. Mengangkat kisahnya di panggung budaya adalah upaya membumikan sejarah agar bisa dibaca ulang oleh generasi baru dalam bahasa yang lebih hidup dan dekat.

Bupati Barru, Andi Ina Kartika Sari, dalam arahannya menegaskan bahwa pelaksanaan FBTB harus memiliki kedalaman makna, tidak cukup hanya mengandalkan kemeriahan:

“Festival ini bukan perayaan kosong, tapi misi membangkitkan kearifan lokal,” ujarnya.

Bupati juga berharap FBTB menjadi etalase budaya Barru di mata nasional bahkan internasional:

“Kita tidak ingin ini jadi kegiatan rutinitas seremonial. FBTB harus menjadi magnet budaya yang memperkenalkan Barru sebagai daerah yang kaya akan nilai-nilai tradisi,” lanjutnya.

Saya sebagai penulis opini ini merasa bersyukur pernah menjadi bagian dari titik awal perjalanan ini. FBTB bukanlah program dinas yang muncul karena tuntutan birokrasi, melainkan karena kecintaan dan panggilan budaya. Kini,memasuki edisi FBTB ke 14, saya berharap bisa menjadi panggung yang dirindukan.

Mari kita jaga ruh FBTB agar tetap utuh. Jangan biarkan ia kehilangan arah atau hanya menjadi ajang rutinitas. Jadikan setiap tahunnya sebagai momentum untuk memperbarui komitmen terhadap budaya kita sendiri. Karena pada akhirnya, FBTB bukan milik pemerintah, bukan milik dinas, tapi milik rakyat Barru seluruhnya.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan refleksi penulis yang terlibat langsung dalam perintisan Festival Budaya To Berru. Opini ini menjadi bagian dari liputan khusus Teras Waktoe .Com menyambut FBTB XIV Tahun 2025 di Palanro.